Mantan Ketua KPU Riau Ilham Muhammad Yasir |
RIAU (NU) - Langkah Kubu Petahana Alfedri-Husni menggugat hasil Pleno KPU Siak, yang menetapkan Paslon Bupati nomor urut 2 Afni Z-Syamsurizal sebagai pemilik suara terbanyak, menyita perhatian banyak kalangan. Berbagai reaksi ditimbulkan, hingga penolakan dari beberapa tokoh dan masyarakat yang mengharapkan konflik politik ini segera berakhir.
Tak dipungkiri, Pilkada yang seharusnya selesai Ketika KPU Siak menggelar pleno penetapan hasil perolehan suara pemilihan kepala daerah untuk Bupati dan Wakil Bupati Siak pada 5 Desember lalu, kini berlarut-larut disebabkan Incumbent yang tidak terima dengan hasil yang ditetapkan.
Dampaknya, masyarakat menjadi bingung siapa sebenarnya yang menjadi pemimpin mereka. Tak hanya itu, kubu-kubu yang tercipta di tengah masyarakat efek Pilkada tak kunjung terpecahkan.
Mantan Ketua KPU Riau Ilham Muhammad Yasir berpendapat meski pun selisih suara antara Paslon 02 dan Paslon 03 hanya 224 suara, buat petahana sangat berat untuk membuktikan bahwa dia lebih unggul.
“Karena pemohon harus mendalilkan bahwa ada kekeliruan KPU Siak dalam menetapkan 02, dan harus mendalilkan bahwa Pemohonlah yang seharusnya ditetapkan, dengan memaparkan angka-angkanya unggul versi Pemohon,” ujar Ilham.
Lanjut Ilham, Pemohon harus membuktikan satu persatu, dengan menghadirkan angka-angka nya di TPS-TPS, di nomor berapa locus nya yang menurut penghitungan Pemohon.
Ilham menjelaskan, sengketa di MK biasanya terbagi menjadi beberapa jenis putusannya. Yakni Diterima, Tidak Diterima, Dikabulkan (sebahagian atau keseluruhan), Tidak Dikabulkan.
“Analisis saya permohonannya peluangnya tidak dikabulkan seluruhnya. Karena Pemohon terlalu kesulitan untuk bisa membuktikan dalil-dalil permohonannya karena tidak punya alat bukti yang didukung dengan saksi-saksi yang selaras,” jelas Ilham.
Dalam tulisannya berjudul ‘Menelaah Sengketa di MK’ yang dimuat di Riau Pos, Ilham menceritakan terobosan yang dilakukan MK, sejak pemilihan 2020. Ini pernah terjadi di Kota Banjarmasin,Boven Digoel, dan Nabire serta beberapa daerah lain.
MK mengabaikan, ketentuan selisih ambang batas yang melebihi persyaratan minimal. Namun, di substansi pokok permohonan teridentifikasi ada proses yang dilanggar dan tidak sesuai ketentuan oleh termohon.
Di Kota Banjarmasin, putusannya sebagian dikabulkan dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS. Sedangkan, di Nabire terkait pencalonan. Permohonannya dikabulkan seluruhnya. Di mana paslon peraih suara terbanyak didiskualifiasi sebagai paslon. Di seluruh TPS dilakukan pemungutan dan penghitungan suara ulang, tanpa mengikutkan paslon tersebut.
Dalam praktiknya, jika tidak terpenuhi selisih ambang batas, permohonan langsung tidak diterima, melalui putusan sela (dismissal). MK pun kerap dijuluki sebagai “mahkamah kalkulator”. Hanya fokus kepada hasil selisih angka-angka saja. Sementara substansi permohonan diabaikan, dan pemohon kehilangan kesempatan untuk membuktikan di MK. Inilah yang oleh para pakar HTN menyebutnya, sebuah terobosan progresif MK. Meskipun, ambang batas ini masih sebagai syarat formil.
Ilham berharap melalui Pilkada Siak, bisa menghasilkan Bupati yang representatif pilihan dan kehendak masyarakat, serta bisa mewujudkan itu saat menjabat.
“Ketika sudah menjabat Bupati adalah untuk semua, tidak boleh terkelompok lagi antara yang mendukung dan tak mendukung. Terkhusus Siak, menjadi percontohan bagi daerah-daerah yang lainnya,” harap Ilham. *** (Mg1)